Tolak Politik Uang, Benarkah...?
Oleh: Syarifuddin Mandegar (Dewan Pembina Esensi Sulawesi Barat)
Uang dan politik memang tidak bisa dipisahkan. Tidak hanya berfungsi sebagai cost politik, juga sebagai sarana transaksional antara politisi dengan voter dalam arti jual beli suara.
Perilaku seperti ini bukan hal yang baru dalam setiap momentum Pemilu baik level nasional maupun lokal money politik (politik uang). Walhasil, perilaku tersebut selalu menjadi pekerjaan rumah bagi penyelenggara Pemilu baik KPU maupun Bawaslu. Kedua lembaga negara ini bekerja ekstra untuk memberikan jaminan ke publik bahwa Pemilu benar-benar aman dari praktik money politik (politik uang).
Tidak hanya itu, praktek politik uang memiliki asas legalitas yang telah diatur dalam peraturan perundang-perundangan Pemilu, sehingga siapapun yang melakukan praktik money politik akan dikenakan sanksi hukum.
Aturan itu kemudian di breakdown dalam bentuk himbauan dan pengawasan oleh Bawaslu sebagai bukti bahwa money politik dalam bentuk apapun benar-benar dilarang.
Namun perlu diketahui bahwa menolak praktik money politik tidak berhenti pada himbauan semata, sebab money politik adalah perilaku pelaku politik. Karenanya menghadapi perilaku seperti itu tidak cukup dengan himbauan tanpa implementasi strategi praktis untuk melawan praktik money politik.
Analogi sederhanaya adalah mengobati orang sakit tidak cukup dengan himbauan, si sakit hanya bisa sembuh melalui penanganan medis atau kalau tidak percaya medis ke dukun pun bisa. Orang lapar tidak bisa dihimbau tolak rasa lapar. Langkahnya adalah beri dia makanan.
Kaitannya dengan tolak money politik (politik uang) membutuhkan instrumen praktis untuk menangkalnya. Himbauan bukan berarti salah tetapi tidak menyelesaikan masalah. Sebab himbauan tidak lebih dari sekedar harapan. Harapan tidak bisa di ukur apakah berhasil atau tidak karena harapan sifatanya abstrak. Maka butuh praktik untuk mewujudkannya. (*)